Palu, Arit, dan Desain Grafis

Hafizh Haqqani
10 min readAug 18, 2023

--

Palu, Arit, dan Desain Grafis

Sekapur sirih

TIDAK, desain grafis tidak pernah hanya tentang estetika visual atau keindahan rancangan belaka. Seperti semua produk, ia memerlukan proses dan tahapan yang harus diikuti demi menghasilkan suatu hasil akhir yang elok, meskipun jauh dari paripurna. Dan pada tulisan ini, saya tidak akan mengupas dan membedah tetek bengeknya, melainkan hanya berfokus pada satu hal yang sangat obscure dari tahapan tersebut. Yakni, pada tahap permulaannya: “dengan apa ia dibuat”.

Adalah sebuah common sense, sebuah hal yang kita semua pahami secara kolektif, bahwa untuk membuat sesuatu yang baik, itu hanya bisa dicapai dengan menggunakan alat dan bahan yang baik juga. Tidak ada orang waras yang mengharapkan sebuah kebab hangat nan enak yang dibuat dari bahan-bahan kedaluwarsa yang tidak layak makan. Tidak ada juga yang menaruh harapan besar pada lukisan yang diproduksi dengan cat lukis palsu, yang lazim disebut “kw”, untuk bertahan lama. Demikian halnya pada desain grafis — untuk menghasilkan mahakarya yang cemerlang, adalah perlu untuk menggunakan alat dan bahan yang berkualitas.

Sebentar, apakah kita akan berhenti pada kata “berkualitas”? Pada paragraf kedua, telah disebutkan bahwa “untuk membuat sesuatu yang baik, hanya bisa diraih dengan alat dan bahan yang baik juga”.

Muncul suatu pertanyaan, apakah “baik” semata-mata bermakna “berkualitas”? “Baik”, dalam konteks yang tengah kita bahas, selain berarti “berkualitas”, juga berarti “bertanggungjawab”. “Baik” dalam dua dimensi, materi dan moral.

Adapun “berkualitas” sendiri, sebagaimana jamak diketahui, telah diburu oleh para pegiat desain, yang selanjutnya akan kita sebut sebagai desainer. Sudah banyak karya-karya cemerlang yang kita temui, yang kita gulir hampir setiap hari di layar gawai kita — di beranda Pinterest, linimasa Instagram, laman pencarian Dribbble, dan seterusnya. Karya-karya ciamik yang rapi, mindblowing, dan memanjakan mata memenuhi hasrat kita.

Lantas, sebuah gumaman pelan mungkin mencuat, “Kalau desain sudah indah dan bagus seperti itu, apa lagi yang perlu dipusingkan? Jangan mengada-ada dan membuat problem baru.” Justru di sanalah muara dari semua masalah. Tatkala kita hanya memandang koin dari satu sisinya, hanya melihat sebuah persoalan dari satu sudut pandang. Apakah kita akan berpura-pura lupa terhadap arti lain dari kata “baik”? Ya,

“bertanggungjawab” — dan sayangnya, inilah yang kerap dilupakan dan bahkan diremehkan oleh banyak desainer.

Mengapa harus “palu-dan-arit”?

HAMPIR dua abad lalu ketika seorang filsuf Jerman berkolaborasi dengan mitra intelektualnya, bersama-sama mencetuskan sebuah buku yang kelak menjadi pedoman bagi salah satu gerakan radikal yang menulis sejarahnya dengan darah. Tokoh itu tidak lain adalah sejarawan yang kerap dijuluki “Bapak Komunisme”, Karl Marx, dengan partner-in-crime-nya, Friedrich Engels. Karya yang disebutnya “Manifest der Kommunistischen Partei” itu menjadi rujukan bagi banyak pemikir yang menaruh perhatian terhadap ideologi komunisme. Tapi, kenapa? Apa kaitannya dengan topik ini?

Menjelang hari buruh 2014, sebuah penerbit Britania Raya radikal beraliran kiri (baca: pro-komunis) Lawrence & Wishart, menggugat dan meminta Marxist Internet Archive, perpustakaan daring gratis yang berisi karya tulis para pemikir dan aktivis mazhab Marxist, untuk menghapus ratusan karya tulis Marx dan Engels di situs mereka. Alasannya, sangat paradoksal, karena karya yang diunggah MIA secara gratis itu adalah hak cipta milik penerbit penggugat. Jika MIA tidak menghapus puluhan jilid yang berisi terjemahan bahasa Inggris karya kedua penggagas komunisme itu, penerbit mengatakan bahwa mereka bisa saja berhadapan dengan hukum.

Tak lama berselang, ratusan email merangsek kotak surel penerbit itu, dengan berang mengatakan, “Bisa-bisanya kalian mengklaim diri kalian sebagai entitas radikal,” dan juga menegaskan bahwa kedua filsuf itu menghabiskan umurnya untuk “menulis perlawanan terhadap monopoli kapitalisme dan kepemilikan pribadi”. Ribuan orang juga berebut menandatangani petisi untuk menolak klaim penerbit itu. Walau pada akhirnya, MIA pun menuruti kehendak penerbit dan men-take down konten yang diklaim.

Petisi yang dibuat untuk menolak klaim penerbit L&W pada 2014. (Dok. Pribadi)
Petisi yang dibuat untuk menolak klaim penerbit L&W pada 2014. (Dok. Pribadi)

Punchline-nya adalah, betapa ironisnya, sebuah penerbit yang menggunakan embel-embel radikal dan sayap kiri sebagai identitasnya, malah mengklaim “hak cipta” atas suatu karya yang menentang ide “hak cipta” itu sendiri. Dalam “The Communist Manifesto”, Marx dan Engels secara implisit menolak gagasan hak cipta, atau kekayaan intelektual. Menurut mereka, bagaimanapun kekayaan intelektual itu adalah milik society atau masyarakat luas. Hal yang senada juga diamplifikasikan oleh seorang Marxist berkebangsaan Inggris, Mick Brooks, bahwa kreasi itu jarang sekali merupakan hasil penemuan seorang diri tanpa input dari masyarakat. Oleh karenanya, mayoritas pemikir Marxisme kerap menyangkal adanya konsep hak cipta dan kekayaan intelektual.

Bagi sebagian orang, opini yang mereka cecarkan terdengar rasional dan logis. Namun, apakah benar demikian? Apakah there’s no such thing as hak cipta dan kekayaan intelektual?

Hak cipta: sering terdengar, selalu tercemar

DALAM dunia desain grafis, seorang desainer pasti membutuhkan masukan dari pihak ketiga. Entah itu berupa saran, gagasan, rancangan, purwarupa, hingga aset desain. Mencetuskan hal yang baru dan belum pernah ada merupakan hal yang sulit dalam dunia seni digital. Adapun mendaur ulang ide yang sudah ada, dan menambahkan sentuhan baru, adalah lagu lama yang terus menerus didendangkan. Don’t get me wrong, saya tidak mencerca hal itu. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana cara desainer menghadapinya.

Telah ditegaskan di awal bahwa desain tidak semata-mata hanya tentang estetika visual. Desain juga tentang bagaimana memvisualisasikan sebuah konsep agar memenuhi dua sisi koin bernama “baik”. Agar desain itu dibuat dengan bahan yang “berkualitas” dan “bertanggungjawab”. Kita akan mengupas lebih dalam tentang makna “bertanggungjawab”. Supaya seorang desainer bisa mewujudkan ide mereka menjadi sebuah hasil visual tanpa melanggar satu aturan pun dan tanpa melukai siapa pun.

Menurut Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham RI, hak cipta adalah “hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Menurut Badan Hak Paten dan Merk Dagang AS, hak cipta sendiri merupakan “bentuk kekayaan intelektual yang melindungi karya asli kepengarangan”.

Hak cipta memiliki jangkauan dan cakupan yang luas, tentunya tidak hanya berkutat pada dunia seni rupa. Ia juga mencakup hak terhadap karya tulis, program komputer, rekaman, siaran, merk dagang, terjemahan, hingga ceramah. Intinya, ia bertugas memberi ruang aman bagi pembuat karya tersebut dan memberinya otoritas untuk mengatur penyebaran karyanya. Salah satu tujuan lainnya adalah, agar karya tersebut tidak jatuh di tangan yang salah; karena bisa saja karya tersebut disalahgunakan — misalnya dijual kembali, atau digunakan secara tidak sah untuk meraup keuntungan pribadinya tanpa peduli nasib pembuat karya itu.

Sebagai seorang desainer, kita sebenarnya sudah sangat lebih dari akrab terhadap hal-hal tersebut. Sehari-hari, kita menggeluti sebuah bidang yang berada dalam naungan hak cipta. Mulai dari alat dan bahan, ide, hingga hasilnya, semuanya berada dalam cakupan copyright. Sejak Anda menyalakan perangkat Anda hingga menutupnya dan beranjak tidur, semua itu tak akan lepas dari hak cipta. Sebut saja, sistem operasi yang Anda gunakan, misalnya Windows, kemudian perangkat lunak kesayangan Anda, katakanlah Adobe Illustrator, AI untuk mewujudkan imajinasi Anda, contohnya Midjourney, hingga situs sumber daya aset andalan, misalnya Freepik.

Kenapa? Apakah itu semua bermasalah? Tidak, tidak sama sekali, hingga… Hingga batas yang ditetapkan dilampaui begitu saja. Justru, karena dunia yang kita geluti sangat erat kaitannya dengan hak cipta, rawan sekali batas-batas seperti itu diterjang. Dan, benar, sangat jarang yang bahkan sekadar tahu kalau mereka melanggar itu semua. Tebak, dari mana ini semua bermuara?

Ya, minimnya kesadaran dan edukasi akan literasi dan awareness tentang pentingnya hak cipta.

Hal yang senada disuarakan oleh ketua umum Ikatan Penerbit Indonesia tentang suburnya pembajakan buku di negara kita. Ia mengatakan bagaimana ruang digital bisa membuat mudahnya para pembajak buku untuk “mencuri” suatu karya dan juga “mencuri” hak-hak yang seharusnya didapat penerbit; mulai dari royalti terhadap penulis, penyunting, layouter, ilustrator, dan semua tim yang terlibat dalam pembuatannya.

Kembali ke duduk permasalahan dan konteks kita sebagai seorang desainer — di mana kita sudah seharusnya melek dan mengerti akan hal ini. Perlu kita camkan bersama, bahwa hal ini tidak bisa diremehkan. Bayangkan saja, jika karya Anda dicomot begitu saja, kemudian disebarluaskan di Pinterest, kemudian ada yang menggunakannya lagi untuk kebutuhan komersilnya. Mereka dapat untung, Anda buntung. Dan bukan, ini bukan hanya sekadar masalah perasaan batin saja. Sudah ada hukum yang dengan jelas menggariskan tentang hal ini.

Normalisasi hal yang salah

SECARA tidak sadar, kita mungkin telah melakukan pelanggaran hak cipta selama merancang sebuah karya desain (atau mungkin pernah dengan kesadaran penuh?). Mungkin, masih ada dari kita yang baru pertama kali mendengar istilah “pembajakan” atau “piracy” dalam dunia digital. Singkatnya, pembajakan adalah kegiatan tidak sah yang meliputi penggunaan atau reduplikasi dari karya orang lain. Dalam dunia desain, hal yang paling umum terjadi adalah penggunaan perangkat lunak bajakan. Misalnya, Windows dan Microsoft Office yang diaktivasi dengan software crack dan software dari Adobe yang seharusnya berbayar tapi, lagi-lagi, diaktivasi dengan crack. (I’m looking at you, kuyhAa and Bagas31 enjoyer).

Grup publik “Kumpulan Software Bajakan” dengan pemburaman pada nama pemilik grup. (Dok. Pribadi)

Beranjak dari perangkat lunak, masih belum berhenti di sana, juga ada pelanggaran hak cipta di aspek aset desain. Bagi Anda yang sudah tidak asing dengan Freepik, Flaticon, Pngtree, PngEgg, Dafont, dan Befonts, maka paragraf ini untuk Anda. Kilas berita, meskipun banyak dari aset di situs tersebut yang bisa diunduh secara bebas, itu tidak pernah berarti Anda juga “bebas” menggunakannya. Terlebih, jika Anda menggunakannya untuk keperluan komersil, yang secara ketat diatur di situs-situs tersebut, Anda harus benar-benar pasang mata membaca syarat dan ketentuan yang ditulis (itu bukan pajangan, btw). Ilustrasi-ilustrasi yang bagus, font-font ciamik, dan aset PNG yang pas di situs tersebut tidak lantas dibagikan bebas kepada Anda begitu saja.

Atribusi adalah langkah paling umum yang diambil penyedia aset gratis sebagai bentuk menyampaikan “terima kasih” pada pembuat karya. Di Freepik dan Flaticon, misalnya, tiap kali Anda mengunduh suatu aset di sana, Anda akan selalu disambut pesan berikut.

Pesan pengingat atribusi oleh Freepik. (Dok. pribadi)

TL;DR, pada intinya pesan itu meminta Anda untuk mencantumkan nama pembuat aset pada hasil karya Anda.

Dan, ya, hak cipta hanyalah sesederhana itu.

Itu jugalah yang membuatnya diremehkan dan dipandang sebelah mata. Kita terlalu lama hidup dalam buaian, terlalu tua untuk baru mengerti hal ini. Memang, tidak ada kata terlambat untuk belajar, akan tetapi pada hal ini, di era di mana informasi begitu mudah menyebar, sudah selayaknya hal ini dikenalkan pada kita sejak dini. Ia seharusnya dikenalkan saat kita baru mengenal fundamental desain; pemilihan warna, hierarki, tipografi, dan sebagainya. Ia sama pentingnya dengan dasar-dasar tersebut.

Kita mungkin bisa sangat marah ketika tahu desain kita dijiplak atau diklaim orang begitu saja. Harusnya, kita juga paham kenapa lisensi perangkat lunak begitu berharga, dengan analogi yang sama. Sudah waktunya menutup keran ini agar tidak mengalir tanpa henti. Sudah saatnya kita belajar dan mengajarkan tentang pentingnya hal ini.

Cahaya di ujung gua

SEBAGAI seorang practicing muslim, saya merasa bahwa menyampaikan hal ini adalah sebuah keharusan. Seorang muslim diminta untuk menghargai hak pribadi setiap orang sebagaimana haknya juga ingin dihargai. Dalam sebuah hadis yang tercantum di Shahih Al-Jaami’, Nabi bersabda,

المسلِمون على شُروطِهم

“Umat Islam berkewajiban untuk senantiasa memenuhi persyaratan mereka,”

Hak cipta dan seluk-beluknya telah tertuang dalam persyaratan yang bisa mudah dibaca tiap pengguna, misalnya Freepik di artikelnya ini. Karenanya, sebenarnya sudah hampir tidak ada alasan valid bagi pengguna aset desain untuk bisa mencari celah. Ironisnya, ada sebagian teman muslim yang “sengaja” melanggarnya, bahkan menggunakan dalih “produk buatan kafir” sehingga bisa digunakan walau hasil bajakan. Hal ini tidak pernah dibenarkan oleh Islam, karena baik muslim maupun kafir sekalipun, haknya wajib dihormati. Di artikel ini, dengan jelas ditegaskan bahwa beberapa ulama kontemporer secara spesifik menyebutkan, hak cipta adalah hal yang amat penting dan harus dihargai.

Namun, apakah ini akhir dari artikel ini, buntu dan tidak memiliki jalan keluar yang baik? Jelas tidak, saya akan mencoba memaparkan sedikit alternatif yang bisa ditempuh bagi teman desainer yang melek dan aware terhadap hak cipta, dan tetap prefer mengeluarkan sedikit hingga tanpa biaya untuk alat dan bahannya.

Untuk alat, alat-alat mainstream yang digunakan banyak industri seperti Adobe tools sudah jamak dikenal memiliki sistem langganan per bulan yang cukup lumayan bagi desainer yang belum menghasilkan banyak pendapatan. Maka izinkan saya memperkenalkan, FOSS.

Layar “Tentang” dari aplikasi Inkscape 1.3, salah satu aplikasi FOSS untuk penyuntingan vector. (Dok. Pribadi)

FOSS adalah akronim dari Free and open-source software, secara harfiah berarti Perangkat lunak gratis dan sumber terbuka. Sesuai namanya, semua pengguna FOSS bisa menggunakannya tanpa khawatir akan licensing, karena sifatnya berupa open-source, membuatnya bisa digunakan untuk keperluan apa pun tanpa biaya. Sudah cukup banyak FOSS yang tersedia di dunia desain, misalnya Inkscape untuk vector dan alternatif untuk Adobe Illustrator, GIMP untuk manipulasi foto dan alternatif untuk Adobe Photoshop, Scribus untuk tata-letak publikasi dan alternatif untuk Adobe InDesign, Krita untuk melukis digital dan alternatif untuk Adobe Illustrator, dan seterusnya.

Untuk bahan, Anda tetap bisa memanfaatkan Freepik dan Flaticon, dengan satu extra step yang acap kali diabaikan, yakni atribusi. Selain itu, Anda juga bisa menggunakan Rawpixel, SVG Repo, Pexels, Unsplash, dan Pixabay. Situs-situs ini menawarkan beragam stok aset desain gratis (dan sebagian kecil berbayar) yang bisa digunakan secara worry-free untuk memperkaya desain Anda. Adapaun font, mungkin Anda harus mencoba keluar dari zona nyaman bernama Dafont secara perlahan. Tidak sepenuhnya, karena Dafont juga menawarkan opsi “Free for commercial use” sehingga Anda bisa menyaring font yang muncul agar bisa digunakan untuk keperluan apa pun. Selain Dafont, Anda bisa mencoba Font Squirrel, Fontesk, dan sang sepuh Google Fonts.

Pamungkas

TERLALU banyak kata yang diperlukan untuk sekadar sebuah publikasi tidak menghambat saya untuk mencoba menggaungkan hal ini pada sesama desainer. Untuk informasi lebih lengkap mengenai hak cipta pada desain, Anda bisa mengunjungi Creative Commons, sebuah organisasi non-profit yang bertujuan membantu pekerja kreatif untuk tetap bisa mengakses gudang aset desain secara legal dan tanpa biaya. Besar harapan yang kita taruh agar literasi terhadap hal yang obscure dan acap dianggap remeh ini kian meningkat, dan ke depannya bisa membuka tabir terhadap wawasan-wawasan baru yang selama ini tidak kita sadari. Terima kasih sudah membaca sejauh ini.

--

--